
Fimela.com, Jakarta Tentu hepatitis merupakan penyakit yang tidak asing lagi didengar. Meski begitu, masyarakat masih terkadang tidak mengetahui informasi yang benar mengenai penyakit ini, apalagi hepatitis memiliki beberapa jenis.
Agar tidak percaya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat mengenai hepatitis. Fimela ask the expert bersama Rumah Sakit EMC Pulomas pun akan “membedah” mengenai heptitis bersama dr. Chyntia Olivia Maurine Jasirwan, PhD, SpPD, KGEH, MARS FINASIM (Spesialis Penyakit Dalam – Konsultan Gastro Entero Hepatologi RS EMC Pulomas).
Dokter yang akrab disapa Chyntia ini mengatakan hepatitis berasal dari kata hepa dan titis. Apapun penyakit yang belakangnya itis merupakan peradangan. Jadi, hepatitis ini berarti peradangan di hati, organnya organ hati. “Jadi itu yang disebut hepatitis. Artinya segala macam penyakit yang bisa menimbulkan peradangan di hati itu disebut hepatitis,” ujar dr. Chyntia dalam Fimela Ask The Expert.
Hepatitis sendiri memiliki berbagai jenis, seperti hepatitis A, B, C, D dan E. Lalu apa yang membedakannya? dr. Chyntia mengatakan jika berbicara dari penyebabnya virus, ada virus A, B, C, D dan E. Dan jika bicara yang non virus ada berbagai macam penyebab lagi, misalnya penyebabnya adalah obat. Maka, yang membedakan A,B, C, D, E ini ialah penyebabnya.
“Tapi dari 5 jenis ini, yang terbanyak di Indonesia, itu B dan C. bedanya kalau A tidak akan pernah menyebabkan kronik. Tidak akan pernah peradangan yang memanjang, seumur hidup akan mengalami peradangan terus. Sedangkan B dan C bisa menyebabkan peradangan yang kronik,”papar dr. Chyntia.
Sayangnya, hepatitis B dan C ini sering tidak disadari sehingga seperti fenomena gunung es yang bisa mengancam nyawa. dr. Chyntia mengatakan tanda-tanda hepatitis ini sulit diketahui jika sudah kronik, seseorang akan merasa sehat padahal sudah difase akhir dari suatu hepatitis kronik itu kan kita sebut sebagai sirosis hati, itu sebenarnya sudah termasuk End Stage Liver Disease (ESLD) atau penyakit hati stadium akhir artinya hatinya sudah tidak bisa kembali lagi secara normal.
“Makanya B dan C ini sering tidak disadari karena dia ada di dalam tubuh orang tersebut tapi dia tidak merasakan apa-apa. Nanti pada saat fase dia sudah endstage (stadium akhir) atau sedang mengalami fase akutnya orang tersebut sadar bahwa dia sudah punya penyakit hepatitis tersebut,” tambahnya
Meski begitu, dr. Chyntia mengatakan terdapat beberapa gejala awal hepatitis seperti yang paling umum, flu, mual, terkadang demam terkadang tidak. “Itu kalau dia yang fase awal seperti itu. Tapi bisa juga nggak ada gejala apa-apa. Tapi kalau misalnya dia kebanyakan sudah kronik itu bisa timbul kuning, bisa juga penurunan kesadaran. Bisa juga penurunan kesadarannya tidak dalam ya bisa juga lupa seperti linglung. Kemudian bisa juga perut membesar karena ada cairan, kemudian bisa juga gejala lainnya kakinya bengkak. Jadi gejala seperti itu udah mutlak harus diwaspadai,” katanya.
Gejala hepatitis pada anak pun seperti itu, demam, mual, kuning. Namun, kuningnya harus dibedakan apakah itu bilirubin karena kurang dijemur, dsb. Kita harus mengetahui data dari ibu, apakah ibunya menderita hepatitis B atau tidak.
“Tapi pada prinsipnya juga sama, kadang2 tidak diketahui kalau anak itu hepatitis B ditularkan dari ibunya dan ibunya juga tertangkap tidak terdeteksi hepatitis B. anaknya juga waktu lahir tidak diberikan vaksin tidak dipersiapkan diberikan immunoglobulin, dsb. Kemudian dia ternyata dia ada HBSAG yang positif di darahnya, itu juga bisa saja dia tidak mengalami gejala apa-apa sampai dia besar nanti,” kata dr. Chyntia.